Sejak mendalami dunia spiritual dan kebatinan, Agus jadi suka berpetualang ke mana-mana. Petualangangan menyusuri tempat-tempat keramat dan angker semata-mata untuk menambah keampuhan ilmu kebatinan yang telah diolahnya sejak umur belasan tahun. dalam bahasa Jawa, istilahnya ngalakoni. Karena menyukai dunia kebatinan, otomatis kebanyakan teman-teman Agus adalah orang-orang yang memiliki kesukaan yang sama.
Suatu ketika, Agus mendapat cerita kawannya kalau ada gunung bernama Gunung Ular. Letak gunung ini berada agak jauh di Yogyakarta. Konon, menurut kepercayaan setempat, banyak sekali ular jadi-jadian yang menunggu gunung tersebut. Bhakan, barangsiapa yang berani mendakinya, takkan sanggup ia keluar dalam keadaan hidup. Masyarakat di sekitar Gunung Ular pun tak ada yang berani menjajalnya, karena takut kena tuahnya.
Cerita itu membuat Agus tertarik.Ia jadi ingin menjajal mendaki Gunung Ular itu. Jika perlu, sekalian bertemu dengan ular-ular siluman penunggunya.
Karena tak ada teman, Agus pun bergegas menemui Yudi untuk mengajaknya serta. Mendengar penuturan Agus, Yudi tak berminat ikut Agus naik Gunung Ular. Yudi takut kena tuahnya. Agus sedikit kecewa atas penolakan Yudi. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak ingin memaksa Yudi ikut bersamanya. Terpaksa ia meniatkan diri berangkat sendirian, lantaran rasa penasaran yang menderanya, dengan tekad dan keyakinan yang dimilikinya.
Bersama sepeda motornya, Agus berangkat menuju Gunung Ular.
Sesampainya di perkampungan Gunung Ular, Agus langsung menemui Pak Kadus (Kepala Dusun) setempat. Di rumah Pak Kadus, ia menceritakan keinginannya untuk mendaki Gunung Ular dan hendak menitipkan sepeda motornya di rumah Pak Kadus. Mendengar keinginan yang disampaikan Agus, Pak Kadus terkejut. Lantas, ia menasihati Agus supaya mengurungkan niatnya mendaki ke Gunung Ular sebabsangat berbahaya. Bahkan, tak satupun warga sekitar yang berani masuk ke area gunung tersebut.
Namun, tekat Agus sudah bulat, karena itu ia bersikeras tetap melakukan niatnya. Pak Kadus tak bisa berbuat banyak, ia mengizinkan tapi tak berani menjamin keselamatan apa-apa. Agus mohon pamit pada Pak Agus.
Di tengah-tengah perjalanan menuju Gunung Ular, Agus bertemu dengan seorang nenek pencari kayu bakar. Melihat Agus, nenek itu menyapanya.
“Mau kemana, Nak?” kata nenek pencari kayu bakar.
Seraya tersenyum pada sang nenek, Agus menjawab, “ke Gunung Ular, Nek.”
“Mau apa ke situ, Nak?”tanya nenek itu lagi. “Nggak usah ke situ, nanti bakal tak selamat kamu,” imbuhnya.
“Biar! Aku tetap mau mendakinya,” jawab Agus dengan kasar dan meninggalkan nenek pencari kayu bakar tersebut.
Nenek itu menyerapahi Agus, “O, dasar bocah gemblung. Dikasih tau orangtua malah ngeyel.”
Ketika memasuki wilayah Gunung Ular, Agus membuka matanya lebar-lebar ke sana ke mari. Ia membuka mata batinnya. Namun, ia tak melihat apa-apa, selain pepohonan yang tumbuh subur. Hari sudah sore, perjalanan Agus masih separuh jalan. Ketika itu, Agus merasa haus, tapi air yang dibawanya sudah habis. Karena itu, ia segera mencari mata air untuk diambil minum sekalian istirahat.
Ketika sampai di mata air, Agus langsung nyemplung ke dalam mata air itu. Ia girang betul mendapatkan air. Namun, tiba-tiba Agus berteriak, “Aduh!! Aow…” Ia merasa jempolnya sakit, seperti digigit sesuatu. Dengan sekuat tenaga, Agus berusaha keluar dari air. Aguse merasa heran, jempolnya berdarah dan membengkak. Setelahnya, seekor ular kecil sebesar kelingking muncul dari dalam air. Ular itu berjalan ke arahnya, dan tiba-tiba berhenti di depan Agus.
‘Ular itukah yang telah menggigitku?‘ kata Agus dalam hati.
“Aku tak mengganggumu. Jadi, jangan ganggu aku,” teriak Agus lantang pada ular kecil itu. Sehabis mengucapkan kata-kata itu, tubuh Agus mendadak lemas dan jempolnya makin membengkak. Ia terjatuh tak sadarkan diri.
Hari sudah pagi, waktu Agus membuka matanya pelan-pelan. ‘Berapa lama aku pingsan?’ tutur Agus dalam hati. Ia melihat keadaan sekitarnya, termasuk kakinya yang ternyata sudah tak bengkak lagi. Rasa nyeri dan sakit pada kakinya pun menghilang. Lantas ia terkejut mendapati ular kecil itu masih ada di depannya. Agus berkata pada ular kecil itu “Terimakasih tak membunuhku. Sekarang kumohon engkau pergi, jangan ganggu aku.”
Ular kecil itu pun mendesis-desis, kemudian pergi meninggalkan Agus sendiri. Sementara, Agus melanjutkan perjalanannya ke puncak Gunung Ular.
Dalam perjalanan, lagi-lagi, Agus tak melihat apa-apa, kecuali melihat pohon-pohon dan dedaunan berwarna hijau. Sesampainya di puncak gunung pun ia tak menemukan apapun. Artinya, tak ada sesuatu yang ganjil.
Lantas, ia duduk dia atas sebongkah batu besar, sambil menghirup segarnya udara sekitar.Ia begitu takjub dengan karunia yang telah diberikan Tuhan berupa alam yang indah. Di pikirannya, ia menggumam, ‘Rupanya, mitos yang menyebutkan gunung ini dipenuhi ular hanyalah kebohongan beaka. Buktinya, cuma ular kecil itu saja yang kutemui di guning ini.’
Setelah melihat-lihatsituasi di puncak Gunung Ular itu, Agus memutuskan untuk turun. Selama perjalanan turun, ia tetap tak menemukan apa-apa.
Namun, setelah ia berada di luar arealGunung Ular, begitu menoleh ke belakang terkejutlah Agus. Ia melihat daun-daun hijau yang dilihatnya berubah menjadi segerombolan ular-ular kecil. Sevongkahan batu yang didudukinya juga telah berubah menjadi ular raksasa yang disekelilingnya bertebaran ribuan kalajengking.
Agus merinding menyaksikan peristiwa tersebut menjadi mengerikan. Ia bergegas melangkahkan kakinya menuju perkampungan masyarakat. Tak lupa ia bersyukur karena telah selamat dari malapetaka Gunung Ular.
Sesampainya di perkampungan, Agus bertemu kembali dengan nenek pencari kayu bakar lagii. Nenek itu heran melihat Agus masih di areal gunung ular dalam keadaan selamat.Padahal, siapapun yang mendaki Gunung Ular, takkan bisa kembali kecuali dalam keadaan tewas.
Agus tersenyum melihat nenek pencari kayu bakar itu berkata, ” Mungkin saya sedang beruntung dan belum waktunya mati, Nek.”